Definisi
Penistaan & Fitnah (Hate speech)
http://zhultoni-e.blogspot.com/2013/06/definisi-penistaan-fitnah-defamation.html
Penistaan
& Fitnah adalah tindakan komunikasi
yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi,
hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal
berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual ,kewarganegaraan,
agama, dan lain-lain.Dalam arti hukum, Penistaan & Fitnah adalah
perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat
memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak
pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang
menggunakan atau menerapkan Penistaan & Fitnah ini
disebut Hate Site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum
internet dan berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.
R. Susilo menerangkan bahwa yang dimaksud dari
"menghina" adalah "menyerang kehormatan dan nama baik
seseorang". Yang terkena dampak hate speech biasanya merasa malu.
Menurutnya, penghinaan terhadap satu individu ada 6 macam yaitu:
1.
Menista secara
lisan (smaad)
2.
Menista dengan
surat/tertulis (smaadschrift)
3.
Memfitnah (laster)
4.
Penghinaan ringan (eenvoudige
belediging)
5.
Mengadu secara
memfitnah (lasterlijke aanklacht)
6.
Tuduhan secara
memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)
Tindak
Pidana Terhadap Kehormatan
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II dimana pembagian tindak pidananya terdiri atas kejahatan. Pembentukan undang-undang membedakan tindak pidana atas kejahatan tersebut berdasarkan kualifikasi tindak pidana.
Dalam KUHP buku II salah satunya terdiri atas kejahatan terhadap kehormatan, karena kehormatan merupakan bagian yang terpenting bagi setiap manusia dimana setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang harus dilindungi oleh hukum. Dalam kehidupan sosial masyarakat tentunya sering terjadinya permasalahan yang timbul akibat dari penghinaan baik secara lisan atau dengan tulisan, selain itu ada juga yang timbul akibat fitnah.
Maka kredebilitas setiap manusia menginginginkan untuk tidak direndahkan karena kehormatan seseorang sangat berpengaruh akan jabatan, karir dan pekerjaan sehinggan jika kehormatan seseorang direndahkan dengan melalui penghinaan baik melalui lisan atau dengan media massa/tulisan bahwa kabar yang ada dalam media massa tersebut belum tentu akan kebenaranya dalam hal ini memiliki pengertian yakni fitnah. Maka akan sangat merugikan bagi salah satu pihak diantaranya orang mendapat fitnahan atau penghinaan tersebut. Untuk itu pentingnya naungan hukum akan tindak pidana terhadap kehormatan.
Selain tindak pidana terhadap kehormatan ada juga tindak pidana terhadap kehormatan khusus (penghinaan khusus), Tindak pidana pada kehormatan pada umumnya ditujukan kepada seorang manusia yang hidup, sebab kehormatan atau nama baik hanya dimiliki oleh manusia yang hidup. Demikian halnya dengan badan hukum, pada hakikaktatnya tidak memiliki kehormatan, tetapi dalam KUHP menganut bahwa badan hukum tertentu seperti : Presiden atau Wakil Presiden, kepala Negara, perwakilan Negara sahabat, golongan, agama, suku dan badan umum memiliki kehormatan dan nama baik.
Demikian sekedar gambaran garis perjalanan pembicaraan makalah ini, semoga gambaran yang sederhana ini dapat merupakan titik tolak dalam mempelajari tindak pidana terhadap kehormatan.
BAB II
PEMBAHASAN
TINDAK PIDANA TERHADAP KEHORMATAN
A. PENGERTIAN
Dalam istilah lain dan sering dipergunakan untuk tindak pidana terhadap kehormatan adalah tindak pidana “penghinaan”. Dipandang dari sisi sasaran atau obyek, yang merupakan maksud atau tujuan dari pasal tersebut yakni melindungi “kehormatan”, maka tindak pidana terhadap kehormatan, lebih tepat.
Pembuat undang-undang, sejak semula bermaksud untuk melindungi :
1. Kehormatan, yang dalam bahasa belanda disebut eer
2. Nama baik yang dalam bahasa belanda disebut geode naam.
Tetapi, jika dipandang dari sisi perbuatan/feit maka tindak pidana penghinaan, tidak keliru.
Para pakar belum sependapat tentang arti dan definisi “kehormatan dan nama baik”, sependapat bahwa “kehormatan dan nama baik” menjadi hak seseorang atau hak asasi setiap manusia.
Bagi masyarakat Indonesia “kehormatan dan nama baik” telah tercakup pada pancasila, baik pada Ketuhanan Yang Maha Esa maupun pada kemanusiaan yang adil dan beradab, hidup saling menghormati.
Berkenaan dengan “kehormatan dan nama baik” menuru Prof. Satochid Kartanegara, S.H. mengutarakan mengenai seseorang yang tertabiat hina, apakah masih mempunyai “kehormatan dan nama baik”, antara lain, sebagai berikut:
Walaupun orang demikian itu telah tidak mempunyai perasaan lagi terhadap kehormatan dirinya, namun setiap orang adalah berhak agar kehormatannya tidak dilanggar.
B. MACAM MACAM
1. MENISTA (SECARA LISAN)
Perkataan “menista” yang berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar mempergunakan kata ”celaan”. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata “smaad” dari bahasa belanda yang memiliki arti menghina, kata “nista” dan kata”celaan” merupakan kata sinonim. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat antara lain:
- cela….hinaan, kecaman, kritik….
- Nista : 1. hina, rendah….
2. tidak enak didengar….
3. Aib, cela, noda
Meskipun kedua kata tersebut hampir bersamaan artinya, tetapi kata “celaan” belum tentu tindak pidana karena dapat merupakan pernyataan, pendapat atau keritikan. Kata “menista” pada umumnya orang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan tindak pidana.
Menista diatur dan diancam pada pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan tertentu, dengan maksud yang nyata untuk menyiarkan tuduhan itu supaya diketahui oleh umum, dihukum karena salahnya menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.300,-“.
Berdasarkan rumusan pasal 310 ayat (1) KUHP, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Dengan sengaja;
2. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain;
3. Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu;
4. Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.
2. MENISTA (SECARA TERTULUS)
Perkembangan masyarakat umum pada saat ini, dimana anggota masyarakat yang tidak dapat membaca dan menulis semakin sedikit, memungkinkan tindak pidana “menista secara tertulis” jika dibandingan dengan menista (lisan), akan lebih banyak. Dengan pertumbuhan media massa khususnya surat kabar harian dan majalah-majalah, maka tindak pidana menista dengan surat, semakin memungkinkan.Dalam hal ini para redaksi sebaiknya lebih cermat sehingga dapat dicegah, keterlibatanya dalam tindak pidana menista secara tertulis.
Istilah “menista secara tertulis ” oleh sebagian pakar dipergunakan istilah “menista dan tulisan”. Perbedaan tersebut disebabkan pilihan kata-kata untuk menerjemahkan yakni kata smaadschrift yang dapat diterjemahkan dengan kata-kata yang bersamaan atau hampir sama.
Penistaan tertulis diatur dan diancam pada pasal 310 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:
“Kalau hal itu terjadi dengan surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan, maka perbuatan karena salahnya menista dengan surat, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-“.
Berdasarkan rumusan pasal 310 ayat (2) maka menista dan menista dengan tulisan bedanya adalah bahwa menista dengan tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedang unsur-unsur lainnya tidak berbeda.
3. UNTUK KEPENTINGAN UMUM ATAU UNTUK MEMBELA DIRI
Terhadap Pelanggaran pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dimuat pengecualian sebagi “alasan untuk tidak dapat dihukum” meskipun telah berbuat suatu perbuatan menista atau menista dengan surat. Hal ini diatur pada pasal 310 ayat (3) KUHP yang berbunyi sebagi berikut:
“Tidak dapat dikatakan menista atau menista dengan surat jika nyata perbuatan itu dilakukan untuk mempertahankan kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mempertahnkan diri.”
Rumusan pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat dua versi, khususnya terhadap “mempertahankan kepentingan umum” yang juga dipergunakan istilah “membela kepentingan umum”. Prof. Satichid Karta Negara S.H, merumuskan “kepentingan umum” sebagi berikut:
“Bila penuduhan menyatakan bahwa tuduhanya itu dilancarkan untuk kepentingan umum, maka ini berarti bahwa kepentingan umum dengan tuduhan itu, diuntungkan.”
Selanjutnya “karena terpaksa untuk mempertahankan diri” Mr. Tirtaamidjaja, diberikan contoh sebagai berikut:
“ Bertindak untuk membela diri karena terpaksa misalnya orang yang dengan tidak benar telah dituduh melakukan suatu pelanggaran pidana menunjuk orang yang sebenarnya melakukan pelanggaran pidana.”
Tampaknya persepsi “kepentingan umum “ dan “ membela diri karena terpaksa” tersebut memerlukan pengamatan yang cermat agar dapat memahami dengan tepat. mengenai hal ini Mr.Tirtaamidjaja mengutarakan sebagai berikut:
“ Hanya hakim yang memutuskan apakah orang itu telah bertindak untuk kepentingan umum atau untuk membela diri karena terpaksa, akan tetapi ia baru berbuat demikian, kalau orang yang melakukan perbuatan itu menyandarkan diri pada hal itu.
Memang, hakim yang memutuskan hal tersebut tetapi penilain hakim tersebut bukan tidak disadari obyektivitas sehingga pertimbangan hakim tersebut layak.
Persepsi”membela diri karena terpaksa”, tidak jauh berbeda dengan pengertian noodwer yang diatur pasal 49 ayat (1) KUHP ; bedanya adalah bahwa pada rumusan pasal 310 ayat (3) hanya berlaku untuk “diri sendiri”. Dengan demikian maka harus memenuhi syarat noodwer yakni:
- Menista serangan terhadap diri sendiri;
- Terhadap serangan perlu diadakan pembelaan diri.
4. Fitnah
Kata “fitnah” sehari-hari sering kita kenal yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni:”perkataan yang dimaksud menjelekan orang….”.
Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau menista dengan surat/tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu diizinkan membuktikanya, tidak dapt membuktikan.
Fitnah diatur dalam pasal 311 KUHP yang berbunyi sebagi berikaut:
(1) Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan surat kabar, dalam hal ini diizinkan membuktikan kebenaran tuduhanya itu dihukum karena salahnya fitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, jika ia tidak dapat membuktikan kebenaranya itu dan jika tuduhanya itu dilakukanya sedang diketahuinya tidak benar”.
Izin untuk membuktikan ditetapkan oleh hakim dalam hal:
- Untuk kepentingan umum;
- Untuk mempertahankan diri;
- Yang difitnah adalah pegawai negeri dalam menjalankan tugasnya.
Hal ini diatur dalam pasal 312 KUHP yang berbunyi:
“Pembuktian kebenaran tuduhan itu hanya diizinkan dalam hal :
(1) Kalu hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu supaya dapat menimbang perkataan terdakwa bahwa ia melakukan perbuatan itu untuk mempertahankan kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mempertahankan diri;
(2) kalau seorang pegawai negeri dituduh melakukan perbuatan dalam menjalankan jabatannya.”
Memperhatikan rumusan pasal 312 KUHP maka dimuat dua butir yakni kesatu dan kedua. Pada rumusan kedua tidak tercantum “kalau hakim memandang perlu” sehingga dalam hal kedua, terdakwa berhak untuk membuktikan tentang tuduhanya. Jadi, jika yang difitnah adalah pegawai negeri dalam menjalankan jabatanya maka tidak keliru jika penyidik meminta tersangka untuk membuktikan kebenaran perkataanya atau tulisanya.
Penerapan pasal 311 KUHP juga diatur pasal 314 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Kalau orang yang dihina, dengan keputusan hakim yang sudah ditetapkan, dinyatakan bersalah melakukan perbuatan yang dituduh itu, penghukuman karena fitnah tidak boleh dijatuhkan.
(2) Jika dengan putusan hakim yang sudah tetap ia dibebaskan dari tuduhan melakukan perbuatan yang dituduh itu, maka putusan hakim itu dipandang menjadi bukti yang cukup bahwa tuduhan itu tidak benar.
(3) Jika penuntutan yang dihina telah dimulai karena perbuatan yang dituduh padanya, maka penuntutan karena fitnah ditangguhkan sampai perbuatan yang dituduhkan itu diputuskan dengan putusan hakim yang tetap”.
5. PENGHINAAN RINGAN
Kata “penghinaan ringan” diterjemahkan dari bahasa belanda eenvoudige belediging; dengan kata “biasa”, sebagian pakar lainya menerjemahkan dengan kata “ringan ”. Dalam kamus bahasa belanda, kata eenvoud: sederhana, bersahara, ringan. Dengan demikian tidak tepat jika dipergunakan penghinaan biasa.
Penghinaan ringan diatur dalam pasal 315 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista dengan surat, yang dilakukan terhadap seseorang baik dimuka umum dengan lisan atau dengan surat baik dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, baik dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.”
Menurut doktrin penghinaan ringan adalah bentuk ke-4 dari tindak pidana terhadap kehormatan. Perbedaan penghinaan ringan dengan menista atau menista dengan surat adalah bahwa pada penistaan(lisan/tulisan), dilakukan dengan cara menuduh melakukan perbuatan tertentu.
Berdasarkan rumusan pasal 315 KUHP, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Penghinaan
2. Sengaja
3. Tidak bersifat menista atau menista dengan surat
4. Di muka umum, di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, dengan surat yang dikirim atau yang diterima.
5. FITNAH DENGAN PENGADUAN
Fitnah dengan pengaduan dalam bahsa belanda lasrelijke aanklacht sebagian pakar menerjemahkan dengan “mengadu dengan fitnah”.
Jika terjemahan kata aanklacht berarti pengaduan atau mengadu. Pemberitahuan dalam bahasa belanda adalah aangifte. Dengan demikian, lebih tepat “fitnah dengan pengaduan” karena jika “mengadu dengan fitnah” yang menjadi masalah utama adalah mengadu sedang dalam masalah ini yang dipermasalahkan adalah fitnah atau penghinaan.
Fitnah dengan pengaduan diatur dalam pasal 317 KUHP yang berbunyi:
(1) Barang siapa dengan sengaja memasukan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atau surat pemberitahuan yang palsu tentang seseorang pada pembesar negeri sehingga kenghormatan atau nama baik orang itu terserang dihukum karena salahnya fitnah dengan pengaduan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
(2) Pencabutan hak tersebut pasal 35 no.1-3 boleh dijatuhkan”.
Kata “pembesar negeri” dalam rumusan pasal 317 ayat (1) KUHP merupakan terjemah dari overhead dari bahsa belanda yang artinya adalah penguasa yang juga diterjemahkan dengan aparat Negara atau aparat pemerintah.
Untuk lebih memahami “fitnah dengan pengaduan” perlu diamati unsur-unsurnya yakni sebagai berikut:
1. Dengan sengaja
2. Menyampaikan laporan/pengaduan tertulis palsu
3. Disampaikan kepada penguasa
4. Tentang orang tertentu
5. Isinya menyerang kehormatan/nama baik orang tersebut.
Sengaja merupakan unsur subyektif, ditujukan terhadap melanggar kehormatan atau nama baik, ungkapan atau perbuatan yang menghina dan sengaja dimuka umum atau sengaja supaya diketahui oleh umum.
Menista (secara lisan)
Menista (secara tertulis)
Untuk kepentingan umum atau untuk membela diri
pasal 311 KUHPÞFitnah
pasal 315 KUHPÞPenghinaan ringan
Fitnah dengan pengaduan
pasal 317 KUHPÞ
C. TINDAK PIDANA TERHADAP KEHORMATAN KHUSUS
Tindak pidana terhadap kehormatan atau tindak pidana penghinaan pada umumnya ditujukan kepada manusia bukan pada hewan.Demikan halnya dengan badan hukum, pada hakikatnya tidak mempunyai kehormatan, tetapi KUHP menganut bahwa badan hukum tertentu, antara lain : Presiden Atau Wakil Presiden, Kepala Negara, Perwakilan Negara Sahabat, Golongan/Agama/Suku Dan Badan Umum, memiliki kehormatan dan nama baik.
1. Penghinaan Terhadap Presiden atau Wakil Presiden
Presiden adalah Kepala Negara dan Wakil Presiden adalah wakil kepala negara. Dengan kedudukan demikian maka Presiden /Wakil Presiden memiliki kehormatan dan nama baik, telah selayaknya selaku orang yang yang berkedudukan demikian, untuk dihormati. Dihormati tidak berarti atas kemauan orang yang menduduki jabatan Presiden/Wakil Presiden tetapi berdasarkan kepatutan dan kelayakan yang hidup dalam masyarakat umum atau orang kebanyakan.
Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden diatur dalam pasal 134 KUHP dan pasal 137 KUHP yang berbunyi:
Pasal 134 KUHP:
“Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden, diancam pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”
Pasal 137 KUHP:
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan dimuka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Semua jenis penghinaan merupakan serangan terhadap kehormatan dan nama baik Presiden dan Wakil Presiden. Sebenarnya dalam hal ini sebaiknya diatur juga bahwa “kehormatan dan nama baik” merupakan salah satu hak yang sama dengan hak-hak yang sama dengan hak-hak lain dan karenanya wajib dihormati berdasarkan”hak asasi manusia”
Bahwa”kebebasan mengajukan pendapat” bukanlah berarti dapat tidak menghormati hak-hak asasi. Dengan demikian “kebebasan mengajukan pendapat atau kritik” dapat dilaksanakan tanpa melanggar atau menyerang “kehormatan dan nama baik”.
2. PENGHINAAN TERHADAP KEPALA NEGARA SAHABAT ATAU YANG YANG MEWAKILI NEGARA ASING DI INDONESIA
Hal ini diatur dalm pasal 142 KUHP, 143 KUHP dan 144 KUHP. Pasal 142 KUHP melindungi kehormatan dan nama baik dan nama baik ” yang mewakili Negara Asing di Indonesia”.
Pasal 144 KUHP, mencakup baik Kepala Negara Sahabat maupun yang mewakili Negara Asing di Indonesia yang dilakukan dengan cara menyiarkan, tertulis atau gambar lukisan.
Pasal 142 KUHP berbunyi sebagai berikut:
“Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap raja yang memerintah atau Kepala lainya dari Negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau paling banyak tiga ratus rupiah”
Berdasarkan rumusan pasal 142 KUHP maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
- Penghinaan
- Dengan sengaja
- Terhadap Kepala Negara sahabat.
Pengertian penghinaan adalah serangan atau perkosaan terhadap kehormatan dan nama baik.Pengertian Negara Sahabat pada umumnya ditafsirkan berdasarkan Ilmu Negara atau Ilmu Tata Negara. Pada umumnya, Negara sahabat diartikan sebagai Negara yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia atau Negara yang telah mengadukan hubungan diplomatik dengan Indonesia dan tidak bertikai atau bermusuhan dengan Indonesia.
Pasal 143 KUHP berbunyi:
“Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap orang yang mewakili Negara asing di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Berdasarkan pasal diatas maka terdapat unsur-unsur sebagi berikut:
- Penghinaan
- Dengan sengaja
- Terhadap yang mewakili Negara asing
- Di Indonesia.
3. PENGHINAAN TERHADAP PEMERINTAH INDONESIA
Hal ini diatur dalam pasal 154 dan 155 KUHP.
Pasal 154 KUHP
“Barangsiapa menyatakan dimuka umum perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara paling lama tujuh tahun atau denda sebanyak banyaknya tiga ratus rupiah.”
Berdasarkan pasal 154 KUHP terdapat unsur- unsur :
a. Di muka umum
b. Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
c. Terhadap pemerintah Indonesia.
Pengertian ”di muka umum” diartikan di tempat yang dapat dihadiri oleh umum atau ditempat yang dapat dilihat oleh umum atau tempat yang dapat didengar oleh umum.
Pengertian “perasaan permusuhan ” berarti melawan atau menentang, sedang pengertian “perasan kebencian” merupakan perasaan sangat tidak suka.
Pengertian “Pemerintah Indonesia” jika diartikan dari Hukum Tata Negara maka dimaksudkan adalah semua eksekutif yakni yang termasuk kabinet dalam pengertian Pemerintah Pusat, sedang Pemerintah daerah Gubernur dan aparatnya.
Pasal 155 KUHP
“Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan sehingga kelihatan oleh umum tulisan atau gambar yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Negeri belanda atau Indosesia dengan maksud isinya diketahui oleh umum, diancam dengan hukuman penjara paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
4. PENGHINAAN TERHADAP GOLONGAN
Hal ini diatur dalam pasal 156 KUHP dan pasal 157 KUHP. Pasal ini dimaksudkan untuk memelihara/ melindungi/ menjamin “persamaan” sebagai salah satu asas hak asasi manusia dan mencegah “diskriminasi”.
Perlindungan yang diatur dalam pasal 156 adalah:
“Barang siapa menyatakan dihadapan umum perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan di negeri Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tigaratus rupiah.
Perkataan “golongan” dalam pasal ini dan pasal yang berikut berarti: tiap-tiap bagian dinegeri Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian di negeri lain karena bangsanya, wataknya, suku bangsa, agamanya, asal tempatnya, keturunanya, atau keadaanya hokum tata Negara”.
Unsur-unsur pasal ini tidak berbeda dengan unsur-unsur pada pasal 154 KUHP, hanya yang berbeda adalah sasaran atau yang dilindungi. Dengan demikian unsur-unsurnya adalah:
- Di hadapan umum
- Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
- Terhadap golongan
5. PENGHINAAN TERHADAP KEKUASAAN UMUM ATAU BADAN HUKUM
Dalam hal ini ada pasal yang mengatur tersendiri. Untuk memahaminya, tidak cukup hanya mengetahui teksnya saja akan tetapi harus diamati dengan cermat, semua unsur-unsurnya dan penerapan berdasarkan jurisprudensi.
Pasal 207 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Barang siapa dengan sengaja dimuka umum dengan lisan atau tulisan suatu kuasa, yang diadakan dinegeri Belanda atau Indonesia atau suatu Badan Umum yang didakan disana, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau dendan sebanyak banyaknya tiga ratus rupiah.”
Rumumusan diatas merupakan rumusan asli atau terjemahan dari W.w.S Belanda atau KUHP Belanda simasa penjajah sehingga rumusan tersebut setelah Indonesia merdeka maka kata “Belanda” pada pasal tersebuttidak berarti lagi.
Berdasarkan rumusan tersebut pada pasal 207 KUHP terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
- dengan sengaja
- dimuka umum
- dengan tulisan atau lisan
- menghina
- suatu kekuasaan hukum atau badan umum yang diadakan di Indonesia.
Pasal 208 KUHP :
“Barangsiapa menyiapkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya penghinaan bagi sesuatu kekuasaan yang ada di Negara Indonesia atau bagi sesuatu majelis umum yang ada disana, dengan niat supaya isi yany menghina itu diketahui oleh orang banyak , dihukum penjara selama-lamanya empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4500,-“.
BAB III
KESIMPULAN
Tindak pidana terhadap kehormatan memiliki istilah lain yakni penghinaan terhadap kehormatan. Tujuan sasaran dari obyek yang merupakan maksud tindak pidana kehormatanlah lebih tepat.
Dalam tindak pidana kehormatan ada beberapa macam pembagianya yakni menista secara lisan, menista secara tulisan, untuk kepentingan umum atau untuk membela diri, fitnah, penghinaan ringan, fitnah dengan pengaduan.
Selain itu juga di diatur tentang tindak pidana terhadap kehormatan khusus diantarnya penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden. Pennghinaan Terhadap Kepala Negara Sahabat atau yang Mewakili Negara Asing di Indonesia, golongan, agama, suku dan badan umum memiliki kehormatan dan nama baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bamelan. 1986. Hukum Pidana Dua. Bandung: Remaja Karya,
Darmawan, Surya. 1988. Hukum Pidana 3. Bandung, : Bina Cipta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Katanegara. 1994. Hukum Pidana Bagian Dua. Jakarta: Balai Letur Mahasiswa.
Koesoemah, Datje Rahajoe. 1995. Kamus Belanda Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Marpaung, Leden. 1979. Tindak Pidana Perhadap Kehormatan. Jakarta: PT Radja Grafindo Persada.
Mueljanto. 2003. KUHP. Jakarta: Bumi Aksara.
Ruslan, Saleh. 1980. Perbuatan Pidana. Jakarta: Centra.
Subekti. 1990. Hukum Pembuktian. Jakarta: Prakarsa.
Tirtaamidjaja. 1995. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fasco
PENDAHULUAN
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II dimana pembagian tindak pidananya terdiri atas kejahatan. Pembentukan undang-undang membedakan tindak pidana atas kejahatan tersebut berdasarkan kualifikasi tindak pidana.
Dalam KUHP buku II salah satunya terdiri atas kejahatan terhadap kehormatan, karena kehormatan merupakan bagian yang terpenting bagi setiap manusia dimana setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang harus dilindungi oleh hukum. Dalam kehidupan sosial masyarakat tentunya sering terjadinya permasalahan yang timbul akibat dari penghinaan baik secara lisan atau dengan tulisan, selain itu ada juga yang timbul akibat fitnah.
Maka kredebilitas setiap manusia menginginginkan untuk tidak direndahkan karena kehormatan seseorang sangat berpengaruh akan jabatan, karir dan pekerjaan sehinggan jika kehormatan seseorang direndahkan dengan melalui penghinaan baik melalui lisan atau dengan media massa/tulisan bahwa kabar yang ada dalam media massa tersebut belum tentu akan kebenaranya dalam hal ini memiliki pengertian yakni fitnah. Maka akan sangat merugikan bagi salah satu pihak diantaranya orang mendapat fitnahan atau penghinaan tersebut. Untuk itu pentingnya naungan hukum akan tindak pidana terhadap kehormatan.
Selain tindak pidana terhadap kehormatan ada juga tindak pidana terhadap kehormatan khusus (penghinaan khusus), Tindak pidana pada kehormatan pada umumnya ditujukan kepada seorang manusia yang hidup, sebab kehormatan atau nama baik hanya dimiliki oleh manusia yang hidup. Demikian halnya dengan badan hukum, pada hakikaktatnya tidak memiliki kehormatan, tetapi dalam KUHP menganut bahwa badan hukum tertentu seperti : Presiden atau Wakil Presiden, kepala Negara, perwakilan Negara sahabat, golongan, agama, suku dan badan umum memiliki kehormatan dan nama baik.
Demikian sekedar gambaran garis perjalanan pembicaraan makalah ini, semoga gambaran yang sederhana ini dapat merupakan titik tolak dalam mempelajari tindak pidana terhadap kehormatan.
BAB II
PEMBAHASAN
TINDAK PIDANA TERHADAP KEHORMATAN
A. PENGERTIAN
Dalam istilah lain dan sering dipergunakan untuk tindak pidana terhadap kehormatan adalah tindak pidana “penghinaan”. Dipandang dari sisi sasaran atau obyek, yang merupakan maksud atau tujuan dari pasal tersebut yakni melindungi “kehormatan”, maka tindak pidana terhadap kehormatan, lebih tepat.
Pembuat undang-undang, sejak semula bermaksud untuk melindungi :
1. Kehormatan, yang dalam bahasa belanda disebut eer
2. Nama baik yang dalam bahasa belanda disebut geode naam.
Tetapi, jika dipandang dari sisi perbuatan/feit maka tindak pidana penghinaan, tidak keliru.
Para pakar belum sependapat tentang arti dan definisi “kehormatan dan nama baik”, sependapat bahwa “kehormatan dan nama baik” menjadi hak seseorang atau hak asasi setiap manusia.
Bagi masyarakat Indonesia “kehormatan dan nama baik” telah tercakup pada pancasila, baik pada Ketuhanan Yang Maha Esa maupun pada kemanusiaan yang adil dan beradab, hidup saling menghormati.
Berkenaan dengan “kehormatan dan nama baik” menuru Prof. Satochid Kartanegara, S.H. mengutarakan mengenai seseorang yang tertabiat hina, apakah masih mempunyai “kehormatan dan nama baik”, antara lain, sebagai berikut:
Walaupun orang demikian itu telah tidak mempunyai perasaan lagi terhadap kehormatan dirinya, namun setiap orang adalah berhak agar kehormatannya tidak dilanggar.
B. MACAM MACAM
1. MENISTA (SECARA LISAN)
Perkataan “menista” yang berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar mempergunakan kata ”celaan”. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata “smaad” dari bahasa belanda yang memiliki arti menghina, kata “nista” dan kata”celaan” merupakan kata sinonim. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat antara lain:
- cela….hinaan, kecaman, kritik….
- Nista : 1. hina, rendah….
2. tidak enak didengar….
3. Aib, cela, noda
Meskipun kedua kata tersebut hampir bersamaan artinya, tetapi kata “celaan” belum tentu tindak pidana karena dapat merupakan pernyataan, pendapat atau keritikan. Kata “menista” pada umumnya orang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan tindak pidana.
Menista diatur dan diancam pada pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan tertentu, dengan maksud yang nyata untuk menyiarkan tuduhan itu supaya diketahui oleh umum, dihukum karena salahnya menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.300,-“.
Berdasarkan rumusan pasal 310 ayat (1) KUHP, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Dengan sengaja;
2. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain;
3. Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu;
4. Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.
2. MENISTA (SECARA TERTULUS)
Perkembangan masyarakat umum pada saat ini, dimana anggota masyarakat yang tidak dapat membaca dan menulis semakin sedikit, memungkinkan tindak pidana “menista secara tertulis” jika dibandingan dengan menista (lisan), akan lebih banyak. Dengan pertumbuhan media massa khususnya surat kabar harian dan majalah-majalah, maka tindak pidana menista dengan surat, semakin memungkinkan.Dalam hal ini para redaksi sebaiknya lebih cermat sehingga dapat dicegah, keterlibatanya dalam tindak pidana menista secara tertulis.
Istilah “menista secara tertulis ” oleh sebagian pakar dipergunakan istilah “menista dan tulisan”. Perbedaan tersebut disebabkan pilihan kata-kata untuk menerjemahkan yakni kata smaadschrift yang dapat diterjemahkan dengan kata-kata yang bersamaan atau hampir sama.
Penistaan tertulis diatur dan diancam pada pasal 310 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:
“Kalau hal itu terjadi dengan surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan, maka perbuatan karena salahnya menista dengan surat, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-“.
Berdasarkan rumusan pasal 310 ayat (2) maka menista dan menista dengan tulisan bedanya adalah bahwa menista dengan tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedang unsur-unsur lainnya tidak berbeda.
3. UNTUK KEPENTINGAN UMUM ATAU UNTUK MEMBELA DIRI
Terhadap Pelanggaran pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dimuat pengecualian sebagi “alasan untuk tidak dapat dihukum” meskipun telah berbuat suatu perbuatan menista atau menista dengan surat. Hal ini diatur pada pasal 310 ayat (3) KUHP yang berbunyi sebagi berikut:
“Tidak dapat dikatakan menista atau menista dengan surat jika nyata perbuatan itu dilakukan untuk mempertahankan kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mempertahnkan diri.”
Rumusan pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat dua versi, khususnya terhadap “mempertahankan kepentingan umum” yang juga dipergunakan istilah “membela kepentingan umum”. Prof. Satichid Karta Negara S.H, merumuskan “kepentingan umum” sebagi berikut:
“Bila penuduhan menyatakan bahwa tuduhanya itu dilancarkan untuk kepentingan umum, maka ini berarti bahwa kepentingan umum dengan tuduhan itu, diuntungkan.”
Selanjutnya “karena terpaksa untuk mempertahankan diri” Mr. Tirtaamidjaja, diberikan contoh sebagai berikut:
“ Bertindak untuk membela diri karena terpaksa misalnya orang yang dengan tidak benar telah dituduh melakukan suatu pelanggaran pidana menunjuk orang yang sebenarnya melakukan pelanggaran pidana.”
Tampaknya persepsi “kepentingan umum “ dan “ membela diri karena terpaksa” tersebut memerlukan pengamatan yang cermat agar dapat memahami dengan tepat. mengenai hal ini Mr.Tirtaamidjaja mengutarakan sebagai berikut:
“ Hanya hakim yang memutuskan apakah orang itu telah bertindak untuk kepentingan umum atau untuk membela diri karena terpaksa, akan tetapi ia baru berbuat demikian, kalau orang yang melakukan perbuatan itu menyandarkan diri pada hal itu.
Memang, hakim yang memutuskan hal tersebut tetapi penilain hakim tersebut bukan tidak disadari obyektivitas sehingga pertimbangan hakim tersebut layak.
Persepsi”membela diri karena terpaksa”, tidak jauh berbeda dengan pengertian noodwer yang diatur pasal 49 ayat (1) KUHP ; bedanya adalah bahwa pada rumusan pasal 310 ayat (3) hanya berlaku untuk “diri sendiri”. Dengan demikian maka harus memenuhi syarat noodwer yakni:
- Menista serangan terhadap diri sendiri;
- Terhadap serangan perlu diadakan pembelaan diri.
4. Fitnah
Kata “fitnah” sehari-hari sering kita kenal yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni:”perkataan yang dimaksud menjelekan orang….”.
Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau menista dengan surat/tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu diizinkan membuktikanya, tidak dapt membuktikan.
Fitnah diatur dalam pasal 311 KUHP yang berbunyi sebagi berikaut:
(1) Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan surat kabar, dalam hal ini diizinkan membuktikan kebenaran tuduhanya itu dihukum karena salahnya fitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, jika ia tidak dapat membuktikan kebenaranya itu dan jika tuduhanya itu dilakukanya sedang diketahuinya tidak benar”.
Izin untuk membuktikan ditetapkan oleh hakim dalam hal:
- Untuk kepentingan umum;
- Untuk mempertahankan diri;
- Yang difitnah adalah pegawai negeri dalam menjalankan tugasnya.
Hal ini diatur dalam pasal 312 KUHP yang berbunyi:
“Pembuktian kebenaran tuduhan itu hanya diizinkan dalam hal :
(1) Kalu hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu supaya dapat menimbang perkataan terdakwa bahwa ia melakukan perbuatan itu untuk mempertahankan kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mempertahankan diri;
(2) kalau seorang pegawai negeri dituduh melakukan perbuatan dalam menjalankan jabatannya.”
Memperhatikan rumusan pasal 312 KUHP maka dimuat dua butir yakni kesatu dan kedua. Pada rumusan kedua tidak tercantum “kalau hakim memandang perlu” sehingga dalam hal kedua, terdakwa berhak untuk membuktikan tentang tuduhanya. Jadi, jika yang difitnah adalah pegawai negeri dalam menjalankan jabatanya maka tidak keliru jika penyidik meminta tersangka untuk membuktikan kebenaran perkataanya atau tulisanya.
Penerapan pasal 311 KUHP juga diatur pasal 314 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Kalau orang yang dihina, dengan keputusan hakim yang sudah ditetapkan, dinyatakan bersalah melakukan perbuatan yang dituduh itu, penghukuman karena fitnah tidak boleh dijatuhkan.
(2) Jika dengan putusan hakim yang sudah tetap ia dibebaskan dari tuduhan melakukan perbuatan yang dituduh itu, maka putusan hakim itu dipandang menjadi bukti yang cukup bahwa tuduhan itu tidak benar.
(3) Jika penuntutan yang dihina telah dimulai karena perbuatan yang dituduh padanya, maka penuntutan karena fitnah ditangguhkan sampai perbuatan yang dituduhkan itu diputuskan dengan putusan hakim yang tetap”.
5. PENGHINAAN RINGAN
Kata “penghinaan ringan” diterjemahkan dari bahasa belanda eenvoudige belediging; dengan kata “biasa”, sebagian pakar lainya menerjemahkan dengan kata “ringan ”. Dalam kamus bahasa belanda, kata eenvoud: sederhana, bersahara, ringan. Dengan demikian tidak tepat jika dipergunakan penghinaan biasa.
Penghinaan ringan diatur dalam pasal 315 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista dengan surat, yang dilakukan terhadap seseorang baik dimuka umum dengan lisan atau dengan surat baik dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, baik dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.”
Menurut doktrin penghinaan ringan adalah bentuk ke-4 dari tindak pidana terhadap kehormatan. Perbedaan penghinaan ringan dengan menista atau menista dengan surat adalah bahwa pada penistaan(lisan/tulisan), dilakukan dengan cara menuduh melakukan perbuatan tertentu.
Berdasarkan rumusan pasal 315 KUHP, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Penghinaan
2. Sengaja
3. Tidak bersifat menista atau menista dengan surat
4. Di muka umum, di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, dengan surat yang dikirim atau yang diterima.
5. FITNAH DENGAN PENGADUAN
Fitnah dengan pengaduan dalam bahsa belanda lasrelijke aanklacht sebagian pakar menerjemahkan dengan “mengadu dengan fitnah”.
Jika terjemahan kata aanklacht berarti pengaduan atau mengadu. Pemberitahuan dalam bahasa belanda adalah aangifte. Dengan demikian, lebih tepat “fitnah dengan pengaduan” karena jika “mengadu dengan fitnah” yang menjadi masalah utama adalah mengadu sedang dalam masalah ini yang dipermasalahkan adalah fitnah atau penghinaan.
Fitnah dengan pengaduan diatur dalam pasal 317 KUHP yang berbunyi:
(1) Barang siapa dengan sengaja memasukan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atau surat pemberitahuan yang palsu tentang seseorang pada pembesar negeri sehingga kenghormatan atau nama baik orang itu terserang dihukum karena salahnya fitnah dengan pengaduan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
(2) Pencabutan hak tersebut pasal 35 no.1-3 boleh dijatuhkan”.
Kata “pembesar negeri” dalam rumusan pasal 317 ayat (1) KUHP merupakan terjemah dari overhead dari bahsa belanda yang artinya adalah penguasa yang juga diterjemahkan dengan aparat Negara atau aparat pemerintah.
Untuk lebih memahami “fitnah dengan pengaduan” perlu diamati unsur-unsurnya yakni sebagai berikut:
1. Dengan sengaja
2. Menyampaikan laporan/pengaduan tertulis palsu
3. Disampaikan kepada penguasa
4. Tentang orang tertentu
5. Isinya menyerang kehormatan/nama baik orang tersebut.
Sengaja merupakan unsur subyektif, ditujukan terhadap melanggar kehormatan atau nama baik, ungkapan atau perbuatan yang menghina dan sengaja dimuka umum atau sengaja supaya diketahui oleh umum.
Menista (secara lisan)
Menista (secara tertulis)
Untuk kepentingan umum atau untuk membela diri
pasal 311 KUHPÞFitnah
pasal 315 KUHPÞPenghinaan ringan
Fitnah dengan pengaduan
pasal 317 KUHPÞ
C. TINDAK PIDANA TERHADAP KEHORMATAN KHUSUS
Tindak pidana terhadap kehormatan atau tindak pidana penghinaan pada umumnya ditujukan kepada manusia bukan pada hewan.Demikan halnya dengan badan hukum, pada hakikatnya tidak mempunyai kehormatan, tetapi KUHP menganut bahwa badan hukum tertentu, antara lain : Presiden Atau Wakil Presiden, Kepala Negara, Perwakilan Negara Sahabat, Golongan/Agama/Suku Dan Badan Umum, memiliki kehormatan dan nama baik.
1. Penghinaan Terhadap Presiden atau Wakil Presiden
Presiden adalah Kepala Negara dan Wakil Presiden adalah wakil kepala negara. Dengan kedudukan demikian maka Presiden /Wakil Presiden memiliki kehormatan dan nama baik, telah selayaknya selaku orang yang yang berkedudukan demikian, untuk dihormati. Dihormati tidak berarti atas kemauan orang yang menduduki jabatan Presiden/Wakil Presiden tetapi berdasarkan kepatutan dan kelayakan yang hidup dalam masyarakat umum atau orang kebanyakan.
Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden diatur dalam pasal 134 KUHP dan pasal 137 KUHP yang berbunyi:
Pasal 134 KUHP:
“Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden, diancam pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”
Pasal 137 KUHP:
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan dimuka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Semua jenis penghinaan merupakan serangan terhadap kehormatan dan nama baik Presiden dan Wakil Presiden. Sebenarnya dalam hal ini sebaiknya diatur juga bahwa “kehormatan dan nama baik” merupakan salah satu hak yang sama dengan hak-hak yang sama dengan hak-hak lain dan karenanya wajib dihormati berdasarkan”hak asasi manusia”
Bahwa”kebebasan mengajukan pendapat” bukanlah berarti dapat tidak menghormati hak-hak asasi. Dengan demikian “kebebasan mengajukan pendapat atau kritik” dapat dilaksanakan tanpa melanggar atau menyerang “kehormatan dan nama baik”.
2. PENGHINAAN TERHADAP KEPALA NEGARA SAHABAT ATAU YANG YANG MEWAKILI NEGARA ASING DI INDONESIA
Hal ini diatur dalm pasal 142 KUHP, 143 KUHP dan 144 KUHP. Pasal 142 KUHP melindungi kehormatan dan nama baik dan nama baik ” yang mewakili Negara Asing di Indonesia”.
Pasal 144 KUHP, mencakup baik Kepala Negara Sahabat maupun yang mewakili Negara Asing di Indonesia yang dilakukan dengan cara menyiarkan, tertulis atau gambar lukisan.
Pasal 142 KUHP berbunyi sebagai berikut:
“Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap raja yang memerintah atau Kepala lainya dari Negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau paling banyak tiga ratus rupiah”
Berdasarkan rumusan pasal 142 KUHP maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
- Penghinaan
- Dengan sengaja
- Terhadap Kepala Negara sahabat.
Pengertian penghinaan adalah serangan atau perkosaan terhadap kehormatan dan nama baik.Pengertian Negara Sahabat pada umumnya ditafsirkan berdasarkan Ilmu Negara atau Ilmu Tata Negara. Pada umumnya, Negara sahabat diartikan sebagai Negara yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia atau Negara yang telah mengadukan hubungan diplomatik dengan Indonesia dan tidak bertikai atau bermusuhan dengan Indonesia.
Pasal 143 KUHP berbunyi:
“Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap orang yang mewakili Negara asing di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Berdasarkan pasal diatas maka terdapat unsur-unsur sebagi berikut:
- Penghinaan
- Dengan sengaja
- Terhadap yang mewakili Negara asing
- Di Indonesia.
3. PENGHINAAN TERHADAP PEMERINTAH INDONESIA
Hal ini diatur dalam pasal 154 dan 155 KUHP.
Pasal 154 KUHP
“Barangsiapa menyatakan dimuka umum perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara paling lama tujuh tahun atau denda sebanyak banyaknya tiga ratus rupiah.”
Berdasarkan pasal 154 KUHP terdapat unsur- unsur :
a. Di muka umum
b. Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
c. Terhadap pemerintah Indonesia.
Pengertian ”di muka umum” diartikan di tempat yang dapat dihadiri oleh umum atau ditempat yang dapat dilihat oleh umum atau tempat yang dapat didengar oleh umum.
Pengertian “perasaan permusuhan ” berarti melawan atau menentang, sedang pengertian “perasan kebencian” merupakan perasaan sangat tidak suka.
Pengertian “Pemerintah Indonesia” jika diartikan dari Hukum Tata Negara maka dimaksudkan adalah semua eksekutif yakni yang termasuk kabinet dalam pengertian Pemerintah Pusat, sedang Pemerintah daerah Gubernur dan aparatnya.
Pasal 155 KUHP
“Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan sehingga kelihatan oleh umum tulisan atau gambar yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Negeri belanda atau Indosesia dengan maksud isinya diketahui oleh umum, diancam dengan hukuman penjara paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
4. PENGHINAAN TERHADAP GOLONGAN
Hal ini diatur dalam pasal 156 KUHP dan pasal 157 KUHP. Pasal ini dimaksudkan untuk memelihara/ melindungi/ menjamin “persamaan” sebagai salah satu asas hak asasi manusia dan mencegah “diskriminasi”.
Perlindungan yang diatur dalam pasal 156 adalah:
“Barang siapa menyatakan dihadapan umum perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan di negeri Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tigaratus rupiah.
Perkataan “golongan” dalam pasal ini dan pasal yang berikut berarti: tiap-tiap bagian dinegeri Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian di negeri lain karena bangsanya, wataknya, suku bangsa, agamanya, asal tempatnya, keturunanya, atau keadaanya hokum tata Negara”.
Unsur-unsur pasal ini tidak berbeda dengan unsur-unsur pada pasal 154 KUHP, hanya yang berbeda adalah sasaran atau yang dilindungi. Dengan demikian unsur-unsurnya adalah:
- Di hadapan umum
- Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
- Terhadap golongan
5. PENGHINAAN TERHADAP KEKUASAAN UMUM ATAU BADAN HUKUM
Dalam hal ini ada pasal yang mengatur tersendiri. Untuk memahaminya, tidak cukup hanya mengetahui teksnya saja akan tetapi harus diamati dengan cermat, semua unsur-unsurnya dan penerapan berdasarkan jurisprudensi.
Pasal 207 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Barang siapa dengan sengaja dimuka umum dengan lisan atau tulisan suatu kuasa, yang diadakan dinegeri Belanda atau Indonesia atau suatu Badan Umum yang didakan disana, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau dendan sebanyak banyaknya tiga ratus rupiah.”
Rumumusan diatas merupakan rumusan asli atau terjemahan dari W.w.S Belanda atau KUHP Belanda simasa penjajah sehingga rumusan tersebut setelah Indonesia merdeka maka kata “Belanda” pada pasal tersebuttidak berarti lagi.
Berdasarkan rumusan tersebut pada pasal 207 KUHP terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
- dengan sengaja
- dimuka umum
- dengan tulisan atau lisan
- menghina
- suatu kekuasaan hukum atau badan umum yang diadakan di Indonesia.
Pasal 208 KUHP :
“Barangsiapa menyiapkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya penghinaan bagi sesuatu kekuasaan yang ada di Negara Indonesia atau bagi sesuatu majelis umum yang ada disana, dengan niat supaya isi yany menghina itu diketahui oleh orang banyak , dihukum penjara selama-lamanya empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4500,-“.
BAB III
KESIMPULAN
Tindak pidana terhadap kehormatan memiliki istilah lain yakni penghinaan terhadap kehormatan. Tujuan sasaran dari obyek yang merupakan maksud tindak pidana kehormatanlah lebih tepat.
Dalam tindak pidana kehormatan ada beberapa macam pembagianya yakni menista secara lisan, menista secara tulisan, untuk kepentingan umum atau untuk membela diri, fitnah, penghinaan ringan, fitnah dengan pengaduan.
Selain itu juga di diatur tentang tindak pidana terhadap kehormatan khusus diantarnya penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden. Pennghinaan Terhadap Kepala Negara Sahabat atau yang Mewakili Negara Asing di Indonesia, golongan, agama, suku dan badan umum memiliki kehormatan dan nama baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bamelan. 1986. Hukum Pidana Dua. Bandung: Remaja Karya,
Darmawan, Surya. 1988. Hukum Pidana 3. Bandung, : Bina Cipta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Katanegara. 1994. Hukum Pidana Bagian Dua. Jakarta: Balai Letur Mahasiswa.
Koesoemah, Datje Rahajoe. 1995. Kamus Belanda Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Marpaung, Leden. 1979. Tindak Pidana Perhadap Kehormatan. Jakarta: PT Radja Grafindo Persada.
Mueljanto. 2003. KUHP. Jakarta: Bumi Aksara.
Ruslan, Saleh. 1980. Perbuatan Pidana. Jakarta: Centra.
Subekti. 1990. Hukum Pembuktian. Jakarta: Prakarsa.
Tirtaamidjaja. 1995. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fasco
0 komentar:
Posting Komentar